• Subscribe
  • Email
    • Gmail
    • Yahoo
  • lorem ipsum

Simsalabim, Jadilah Social commerce!

Administrator  • 2024-05-06 15:26:25

Simsalabim, Jadilah Social commerce! Sumber: Toko Press

Merebaknya trend kerugiaan pedagang pasar akibat peningkatan trend jualan di media online telah menjadi sorotan penting belakangan ini. Pemerintah telah melarang penggunaan media sosial untuk transaksi dagang. Media sosial hanya boleh digunakan untuk kanal pemasaran, yaitu promosi. Perlindungan dari pemerintah ini sebenarnya hanyalah proteksi sementara.

Social commerce sesungguhnya adalah disrupsi bagi perusahaan teknologi yang bergerak di bisnis berbasis laman pemasaran. Oleh karena itu, perusahaan teknologi perlu mengantisipasi disrupsi berikutnya. Riset menjadi kekuatan bagi perusahaan teknologi untuk memandang masa depan.

Kalangan perusahaan teknologi e-dagang sebenarnya secara tidak langsung telah mengalami disrupsi setiap waktu. Mereka terus melakukan perubahan mulai dari memperbaiki pengalaman konsumen, mempersonalisasi kebutuhan konsumen, menyediakan cara pembayaran yang lebih fleksibel, dan lain-lain.

Jika tidak melakukan perbaikan terus-menerus seperti itu, besar kemungkinan mereka ditinggal konsumen. Meski demikian, inovasi terus-menerus itu belum mencukupi. Pengamatan yang mendalam tentang interaksi antara penjual dan pembeli serta adopsi teknologi menjadi kunci di balik kesuksesan baru yang bakal diraih perusahaan teknologi.

Salah satu perubahan yang penting adalah tren perubahan dalam berbelanja yang terjadi di kalangan anak muda. Gen Z dan generasi milenial adalah pengguna terbesar social commerce dengan sekitar setengah dari setiap generasi melakukan pembelian melalui media sosial.

Laman InsiderInteligence melaporkan, ketika ditanya apa yang mendorong mereka melakukan pembelian terbaru di media sosial, 45 persen konsumen Gen Z mengatakan mereka menemukan produk yang mereka sukai. Hal ini menunjukkan kekuatan pencarian. Namun, sepertiganya melaporkan bahwa mereka melakukan pembelian karena melihat iklannya, yang menunjukkan bahwa periklanan juga sama pentingnya. Sesuatu yang jelas adalah bahwa social commerce tidak bisa dihindari. Tren ini didorong oleh perubahan budaya dan preferensi konsumen generasi muda.

Kemampuan social commerce itu tidak terlepas dari pengamatan yang mendalam tentang perilaku konsumen dan kenyataan bahwa pengguna media sosial sangat besar. Dengan social commerce, orang yang membeli produk cukup berada dalam platform media sosial alias tidak perlu pindah ke platform lain. Satu hal ini saja social commerce sudah memudahkan para pembeli.

Mereka bisa melakukan segala sesuatu mulai dari riset produk hingga pembayaran di dalam platform media sosial yang tengah dinikmati. Tidak mengherankan apabila Shopify mengatakan, social commerce adalah sebuah pengalaman belanja yang lebih nyaman dan interaktif yang mungkin menjelaskan mengapa social commerce menjadi semakin populer dibandingkan platform e-dagang yang selama ini telah eksis.

Sejumlah analis sejak lama telah memperingatkan perihal kehadiran social commerce yang disebut sebagai kenyataan yang tidak bisa dilawan atau sebagai perkembangan yang pasti akan terjadi. Setidaknya mereka telah mengungkapkan hal itu pada tahun 2019. Bahkan, Yahoo! pernah mengintroduksi cara berdagang ini pada tahun 2005. Agak aneh jika sejumlah kalangan di Indonesia baru ribut pada tahun ini.

Apakah mereka menganggap remeh perkembangan tren itu? Mereka mungkin tidak memperkirakan, dampaknya juga akan mengenai pelaku di Tanah Air sehingga mereka tidak membuat antisipasi sejak lama. Seperti perusahaan masa lalu, mereka mungkin yakin dengan model bisnisnya sehingga memilih bersikap tenang.

Salah satu dugaan keberhasilan social commerce adalah kemampuan teknologi kecerdasan buatan yang dimiliki platform. Dengan ditunjang teknologi live streaming, kemampuan mereka menarik data dari perilaku konsumen bisa langsung memberi informasi tentang fenomena tersebut dan langsung ditranslasikan menjadi rekomendasi kepada audiens platform mereka. Sistem bekerja langsung dari menangkap data, mengolah, dan kemudian membuat rekomendasi serta menjangkau audiens mereka dalam waktu yang sama. Sistem lama kadang masih menunggu analisis untuk membuat rekomendasi, baru kemudian menjangkau audiens lebih luas. Ada salah satu platform boleh dibilang ”brutal” dalam menggerakkan mesinnya sehingga kemampuan platform tersebut menjadi tak terbatas dalam menjangkau audiens.

Kekuatan mereka sesungguhnya sampai pada penemuan ide untuk membuat social commerce dengan live streaming boleh jadi berawal dari kemampuan riset mereka. Pertama tentu riset tentang interaksi audiens dengan platform media sosial dan kemudian bagaimana teknologi digunakan untuk mendukung interaksi tersebut dalam waktu yang sama dan riil. Interaksi penjual dan pembeli dengan menggunakan kanal siaran langsung memudahkan pembeli untuk melihat produk seperti apa adanya. Cara ini pernah dilakukan oleh sejumlah televisi dengan membuat acara penjualan langsung. Meski tidak dengan menggunakan teknologi live streaming, kehadiran produk secara visual membuat pembeli lebih tertarik. Pada masa jayanya, model penjualan seperti ini mampu meningkatkan penjualan secara signifikan.

Kemampuan riset berikutnya adalah membaca tren yang tengah terjadi. Teknologi live streaming yang makin mudah dipakai oleh semua kalangan dan makin sering digunakan tentu mudah sekali memunculkan ide untuk menumpangi fenomena ini dengan jual-beli. Dengan menambahkan sistem pemesanan barang, sistem pembayaran, kemampuan penjual meyakinkan calon pembeli, dan lain-lain, social commerce yang satu ini sangat menarik. Apalagi ditambah dengan teknologi untuk menjangkau audiens yang lebih luas, social commerce memang menjadi disruptor.

Di samping itu, riset berikutnya adalah riset teknologi. Dari fenomena perilaku konsumen kemudian dihasilkan teknologi yang mampu secara langsung menangkap data hingga membuat rekomendasi dan menjangkau audiens yang lebih luas. Teknologi lama baru bisa menangkap ”what” yang ada di pasar, baru kemudian membuat rekomendasi sebuah produk ke pasar. Teknologi baru ini sudah sampai pada menjelaskan ”why” untuk sebuah fenomena dan kemudian langsung membuat eksekusi karena mesin langsung paham dengan ”how” yang harus dilakukan ketika live streaming dilakukan di platform media sosial sehingga mereka yang aktif di media sosial bisa terpapar. Semua proses berada dalam kendali mesin.

Lebih dalam lagi, riset mereka tentu bisa menjawab bagaimana mesin bekerja sangat akurat menjangkau audiens. Kekuatan mereka akan makin mematikan ketika data yang dimiliki membuat mereka jadi produsen. Mereka tahu persis barang yang dibutuhkan konsumen dan dalam waktu singkat mereka bisa memproduksi barang tersebut.

Pelajaran dari kasus ini adalah secara umum kita memang lemah di riset. Tidak sedikit perusahaan di Indonesia yang lemah dalam tradisi riset. Ada salah satu perusahaan yang memiliki lembaga riset kuat, tetapi belakangan peran mereka dilemahkan. Hasil-hasil riset mereka kerap tidak dianggap dan tidak digunakan oleh perusahaan. Riset yang sering berbiaya mahal sangat mungkin dianggap sebagai beban perusahaan. Akibatnya, mereka tidak mau mengembangkan kemampuan riset perusahaan. Ujung-ujungnya, mereka lebih memilih menggunakan teknologi, lisensi, dan bahkan produk perusahaan lain. Mereka semua ini lebih tepat disebut pedagang dibandingkan sebagai inovator dan pebisnis unggul. Fenomena seperti ini mungkin saja terjadi di perusahaan teknologi di Indonesia

View reactions (729)
Add Comment
2 Comments
  • @russel


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.
  • @carlf


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.