• Subscribe
  • Email
    • Gmail
    • Yahoo
  • lorem ipsum

Menyoal Draf RUU Penyiaran

Administrator  • 2024-05-14 16:42:11

Menyoal Draf RUU Penyiaran Dewan Pers menggelar jumpa pers, Selasa (14/5/2024). (foto: dok/ist)

REVISI Undang-undang Penyiaran yang semula diharapkan memberikan angin segar bagi dunia penyiaran, di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital, kini justru menuai kritik dari berbagai kalangan. 

Mereka beranggapan bahwa semangat yang dibangun dalam draf RUU Penyiaran adalah menciptakan pers yang tidak berdaya, yang berakibat melahirkan produk jurnalistik yang buruk. Bahkan lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin RUU ini nantinya menjadi pintu masuk pembungkaman pers.

Berbagai organisasi profesi jurnalistik, sampai Dewan Pers yang dengan lantang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap draf UU Penyiaran tersebut. Selasa (14/5/2024), Dewan Pers kembali menggelar jumpa pers yang ditayangkan secara langsung lewat akun resmi di Youtube, yang isinya menolak Revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Poin penting yang menjadi sorotan terutama adalah terkait dengan larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 56 Ayat 2 RUU tersebut. Padahal kalangan jurnalistik meyakini bahwa jurnalisme investigasi merupakan karya tertinggi bagi seorang jurnalis.

Sorotan lain teradap draf RUU Penyiaran ini adalah aturan yang menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang 'menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran'. Tentu saja ini bertentangan dengan UU Pers yang menggarisbawahi penyelesaian kasus pers penyiaran dilakukan oleh Dewan Pers.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5), menegaskan, RUU ini tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform, terbukti dengan tidak dimasukkannya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsiderans.

Menurut dia, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas. Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan pers yang tidak independen.

Singkatnya, Ninik menegaskan bahwa seluruh komunitas pers menolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sekarang disusun oleh Baleg DPR RI. Kalau diteruskan, DPR akan berhadapan dengan komunitas pers.

'Ancaman' Ninik tentu bukan gertak sambal belaka, mengingat kebebasan pers sudah diperjuangkan cukup lama, sehingga kalau sampai ada pembungkaman tentu akan memunculkan perlawanan. 

Selain Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indnesia (IJTI) juga mengkritik RUU Penyiaran yang melarang tayangan eksklusif investigasi. Begitupun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai proses penyusunan revisi UU itu tertutup dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Mereka mengkritik draf revisi ini bahkan tidak ditayangkan dalam laman resmi DPR. Menurut AJI, penyusunan revisi UU Penyiaran ini mirip seperti UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU KPK yang diam-diam jadi dan dibawa ke paripurna.

Derasnya arus yang mengkritik RUU Penyiaran, seyogyanya membuat DPR sebagai inisiator membuka telinga lebih lebar untuk mendengarkan semua kritik. Begitupun pemerintah sebagai mitra pembahasan, juga tak boleh menutup mata terhadap potensi pembungkaman pers, yang berarti pula pembungkaman demokrasi. Perombakan terhadap draf RUU Penyiaran itu mutlak perlu dilakukan. (nm)

View reactions (729)
Add Comment
2 Comments
  • @russel


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.
  • @carlf


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.