• Subscribe
  • Email
    • Gmail
    • Yahoo
  • lorem ipsum

Pilkada Serentak dan Kematangan Demokrasi

Administrator  • 2024-09-14 22:41:00

Pilkada Serentak dan Kematangan Demokrasi Ilustrasi. (dok/ist)

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2024 ini menunjukkan fenomena yang memprihatinkan, terutama bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Betapa tidak, pemilu termasuk di dalamnya adalah pilkada, merupakan sarana yang sah dan kontitusional bagi pergantian kepemimpinan. Mekanisme yang mengatur dalam undang-undang kita adalah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, atau dukungan masyarakat untuk calon perseorangan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

Mekanisme tersebut menempatkan partai politik pada posisi yang sangat strategis dalam hal pergantian kepemimpinan ini, sebab untuk calon perseorangan, sangat sulit persyaratannya. Sementara kita tahu bahwa salah satu fungsi partai politik adalah sarana rekrutmen politik. Fungsi ini berhubungan dengan masalah seputar seleksi kepemimpinan. Dengan pemilihan kader yang baik, diharapkan partai politik bisa mencalonkan wakilnya ke bursa kepemimpinan nasional.

Namun yang kita cermati justru ketidakmampuan partai politik menjalankan fungsi tersebut. Meski Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menurunkan ambang batas pencalonan dari minimal 20 persen kursi di DPRD menjadi 6,5 persen sampai 10 persen, tak membuat partai politik menyambut dengan suka cita. 

Mereka justru merasa lebih senang bergerombol dalam jumlah besar dengan mengajukan satu pasangan calon, sementara yang dihadapi adalah pasangan calon yang hanya didukung oleh satu partai politik. Bahkan pada Pilkada Serentak 2024 ini, ada 41 daerah dengan pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon. Artinya, mereka akan bertarung menghadapi kotak kosong. 

Entah apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Beberapa partai politik yang bergabung dalam kelompok besar itu sejatinya memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan calon sendiri, sesuai dengan putusan MK tersebut. Bila itu dilakukan, tentu akan semakin banyak pilihan bagi masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya.

Namun ternyata harapan itu tidak terjadi. Seperti ada kekuatan besar yang menggerakkan para petinggi partai politik ini, untuk menyatukan sikap dalam Pilkada ini. Hal ini membuat masyarakat tak punya banyak pilihan untuk menentukan pemimpin mereka. Lalu di mana tanggung jawab partai politik terhadap konstituennya? Banyaknya calon tunggal juga mengundang tanya di benak publik, apa saja yang dikerjakan parpol selama ini?

Pilkada semestinya bukan hanya ajang untuk mencari pemimpin di daerah. Hal lebih utama dari itu adalah Pilkada harusnya sebagai bentuk pendidikan politik bagi rakyat, khususnya dalam berdemokrasi. Namun, sejauh ini, aktivitas pendidikan politik tersebut rasanya masih jauh panggang dari api.

Kondisi itu jelas amat memprihatinkan, dan merupakan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Para stakeholder, mulai dari Komisi Pemilihan Umum, partai politik, anggota parlemen, maupun para pegiat demokrasi, harus bahu membahu agar hal seperti ini tidak berkelanjutan. Perlu ada solusi agar kedaulatan rakyat menempati posisi yang istimewa. Jangan gadaikan kedaulatan rakyat demi kepentingan segelintir elit partai, yang pada gilirannya merusak demokrasi.

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kita -- terutama parpol -- malu dengan fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada ini. Diakui atau tidak, dengan alasan apa pun tidak bisa menutupi bahwa mereka gagal memberi pendidikan politik kepada rakyat, meski perangkat perundang-undangannya sudah demikian baik.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol, dengan sangat jelas disebutkan bahwa tujuan umum pendirian partai politik antara lain untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Adapun tujuan khususnya ialah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka kegiatan politik dan pemerintahan.

Hal ini dimaknai bahwa rakyat, sebagai pemegang hak suara, harus punya pilihan untuk menentukan calon pemimpin di daerahnya. Mereka berhak menentukan pilihan. Jangan cuma disodori satu pasangan, apalagi yang sudah jelas-jelas buruk kualitasnya dan tidak dikehendaki kehadirannya. Jangan jadikan Pilkada sebagai sarana mempermulus dominasi kartel politik yang merusak system demokrasi. (nm)

View reactions (729)
Add Comment
2 Comments
  • @russel


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.
  • @carlf


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.