• Subscribe
  • Email
    • Gmail
    • Yahoo
  • lorem ipsum

Kampus Wanaha Terbuka Pemilu

Administrator  • 2024-05-04 02:06:00

Kampus Wanaha Terbuka Pemilu Sumber: CNBC Indonesia

Kampus kian terbuka menarik patron politik untuk diuji gagasannya. Sekalipun belum satupun alasan tepat seberapa besar kampus bisa menjadi tutup kantong keingingan publik tentang keperluan mereka atas harapan terhadap calon Presidennya.

Di tengah mulai maraknya baliho dan berbagai semiotika bernuansa kampanye politik menyambut pemilihan presiden ataupun Pemilihan Legislatif 2024 meski belum memasuki masa kampanye, Mahkamah Konstitusi merevisi materi Pasal 280 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Pemilu. Dalam putusan MK ini, tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah dapat menjadi sarana kampanye politik sepanjang memperoleh izin dan tidak beratribut kampanye.

Putusan tersebut memantik pro dan kontra. Untuk konteks fasilitas pemerintah, saya kira akan lebih berkonotasi negatif karena belum tuntasnya sindrom patronase birokrasi pasca-Orde Baru sehingga sangat rawan politisasi birokrasi. Sementara kampanye di lembaga pendidikan, ini menarik untuk dielaborasi. Setidaknya ada beberapa poin dalam mengaitkan atmosfer dan konstelasi politik praktis ke dalam ruang-ruang akademik pendidikan, minimal kampus.

Di dalam perspektif komunikasi politik dan ruang publik, putusan MK tersebut bisa menjadi angin segar bagi filterisasi udara polutan politik. Tidak bisa dinafikan, meski lebih dari dua dasawarsa menghirup iklim dan udara demokratisasi, komunikasi politik di area strategis seperti pemilu sering kali bersifat top-down dan monolog, kalau tidak disebut otoriter.

Publik seperti tidak memiliki ruang demokrasi bottom-up untuk memunculkan, menentukan kandidat, visi-misi, substansi persoalan dan kebutuhan kecuali sedari awal sudah disuguhi hegemoni wacana dari elitis-oligarki. Sementara polutan berupa memori polarisasi politik, politik ujaran kebencian, suku, agama, ras, dan antaragama (SARA) di periode pemilu sebelumnya serta praktik dan laku klise politisi yang gemar mencuri start kampanye, politisasi ruang publik, dan agenda-agenda kebijakan pemerintahan.

Di tengah stagnansi atau bahkan kemunduran demokrasi itu, kampus sebagai benteng dan kawah candradimuka intelektualitas, pertemuan diskursus nalar dan rasionalitas, diharapkan tampil dan hadir untuk yang terdepan menjadi ruang publik yang mampu menyuguhkan suasana kampanye politik yang berkualitas.

Kampus menjadi ruang akademik yang sangat strategis untuk menguji melalui rasionalitas gagasan para kandidat yang kemudian dipertentangkan dalam dialektika yang demokratis. Dialektika yang mempertemukan kandidat dengan akademisi ataupun warga dan masyarakat umum sekalipun. Dialektika yang berangkat dari akar rumput persoalan sejati di tengah-tengah masyarakat, kebutuhan dan harapan nyata publik, filosofi dan moral etis politik, khazanah dan teori-teori politik serta keadilan yang selama ini hanya di perdengarkan dan kritisi para sivitas akademika di ruang-ruang kampus untuk kemudian bertemu dan bersenyawa dengan gagasan-gagasan bernas dari para kandidat.

Dialektika pengetahuan dan kekuasaan

Merujuk pada teoritis post-modernisme Michel Foucault bahwa politik (kekuasaan) tidak pernah bisa dilepaskan dari pengetahuan dan/atau sebaliknya pengetahuan menghasilkan kekuasaan. Melalui Power/Knowledge (1980), Faucault berusaha menunjukkan relasi kekuasaan dan pengetahuan. Melalui rezim wacana, kekuasaan bersifat menyebar dan berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi sosial.

Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan mengonsolidasikan segala sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, melainkan karena kekuasaan selalu diproduksi dalam setiap momen dan setiap relasi. Konseptualisasi terhadap segala bentuk kebutuhan ataupun persoalan publik menjadi instrumen kekuasaan untuk kemudian menghasilkan diskursus dan kebijakan politik. Lebih dari itu, pembentukan pola dan perilaku masyarakat ditentukan melalui narasi-narasi besar atau paradigma yang berkembang.

Di dalam konteks politik, kebijakan pemerintah akan selalu dianggap benar dan relevan sepanjang tidak ada diferensiasi dan counter wacana. Maka, di momentum kampanye politik, kampus sebagai ruang pendidikan tinggi memiliki sejumlah instrumen yang rasional dan ilmiah, derajat kedewasaan berpolitik melalui kapabilitas yang demokratis dan kritis, saya kira layak untuk menguji dan berdialektika terhadap seluruh pengetahuan, wacana dan paradigma calon wakil rakyat, sebelum menjadi kebijakan politik ke depan.
Model kampanye melalui deliberasi kampus dirasa akan lebih berbobot dibandingkan dengan metode konvensional seperti panggung terbuka, baliho, dan sosial media sekalipun.
Sejalan dengan itu, untuk mempertemukan dialektika pengetahuan, wacana, dan serangkaian paradigma politik para kandidat, diperlukan suasana kampanye politik yang dialogis dan deliberatif. Bukan orasi tunggal dan monolog, melainkan kampanye yang di-setting seperti apa yang disampaikan Jurgen Habermas sebagai ruang publik.

Ruang publik adalah suatu diskursus yang memungkinkan perseteruan argumentasi terjadi dalam kondisi kesetaraan. Habermas menggambarkan bahwa ruang ini meliputi infrastruktur nyata dan norma-norma yang mendukung dan memungkinkan kritik-kritik politik diperbincangkan. Di mana panduannya adalah argumentasi rasional dan diskusi kritis yang menjadikan kekuatan argumen menjadi lebih penting dibandingkan dengan identitas si pembicara (Habermas, 2007).
Model kampanye melalui deliberasi kampus dirasa akan lebih berbobot dibandingkan dengan metode konvensional seperti panggung terbuka, baliho, dan sosial media sekalipun tatkala perdebatan politik yang muncul berlatar gagasan-gagasan yang rasional dan inklusif.

Rasionalitas ide-ide politik berangkat dari kapasitas komunikasi yang berbasis upaya pencarian pemahaman timbal balik lewat diskursus dalam ruang publik. Dalam rasionalitas komunikatif, Habermas menekankan pentingnya mengungkapkan tiga klaim validitas dalam komunikasi, yaitu klaim kejujuran, ketepatan, dan kebenaran. Habermas menekankan pentingnya komunikasi dalam membangun pemahaman intersubyektif di dalam faktum pluralitas. Peran komunikasi sangat membantu bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas dan bermartabat. Oleh karena itu, kebijakan publik harus dibuat atas dasar diskursus dan konsensus bersama di dalam ruang publik.

Kemudian yang tidak kalah penting, inklusivitas dalam ruang publik. Kampus selayaknya tidak lagi sebagai menara gading, bangunan mercusuar yang tidak terjangkau oleh diskursus politik, maka perlu keterbukaan kampus dalam merancang ruang publik dalam membincang-debatkan isu-isu politik.

Ruang publik di dalam atmosfer kehidupan kampus sudah menjadi keniscayaan sejalan dengan suasana merdeka belajar. Selain itu, di dalam momentum politik, maka melibatkan warga dan masyarakat umum untuk turut hadir dalam suasana dan atmosfer ruang publik tersebut. Dengan demikian, independensi, integritas, dan demokratisasi kampus dapat berjalan secara seiring dan optimal.
 
Kontrak politik
Momentum deliberasi kampanye politik menjadi relevan dengan tugas-tugas akademisi kampus dalam menerapkan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan politik tidak sekadar mendialektikakan teori dan konsep, melalui momen politik praktis, tentu deliberasi kampanye politik di kampus menjadi ruang pendidikan politik baik untuk akademisi, politisi, maupun warga sekalipun.

Melalui suasana itu pula, menghadirkan ruang publik yang inklusif dan demokratis kepada warga sebagai pengejawantahan pengabdian kepada masyarakat. Selain tentu kemudian melahirkan kajian-kajian perkembangan politik kontemporer melalui penelitian.

Untuk optimalisasi momentum deliberasi kampanye di kampus, kontrak politik menjadi penting dalam melakukan mekanisme pengawasan publik. Kontrak politik untuk membingkai gagasan dan konsep kandidat dengan publik melalui kampus, relasi sosial antara calon wakil rakyat dan rakyat sehingga ini menjadi wujud nyata sinergi perguruan tinggi dengan masyarakat.

View reactions (729)
Add Comment
2 Comments
  • @russel


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.
  • @carlf


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.