• Subscribe
  • Email
    • Gmail
    • Yahoo
  • lorem ipsum

Anggaran Gemuk Dari Visi Misi Capres

Administrator  • 2024-05-02 23:03:58

Anggaran Gemuk Dari Visi Misi Capres Sumber: Berita Satu

Semua capres bangun mimpi besar dalam setiap kosa kata politisnya. Bagaimana mereka mewujudkan mimpi itu setelah terpilih, walau jauh api dari panggang, jumlah anggaran yang dibutuhkan tidaklah kecil. Indonesia menganut paham ”besar pasak daripada tiang” dalam mengelola keuangan negara. Sesuai makna peribahasa tersebut, pemerintah mengeluarkan uang untuk belanja lebih besar daripada pemasukan yang didapat.

Ini bukan hal tabu. Pada dasarnya, kebijakan anggaran suatu negara bisa berupa defisit (ekspansif), surplus (kontraktif), atau berimbang. Mayoritas negara, seperti Indonesia, memakai rezim fiskal defisit untuk mengejar pertumbuhan ekonomi lewat belanja pemerintah yang diperbesar.

Namun, tentu semua harus tetap terukur. Prinsip ”besar pasak daripada tiang” yang kebablasan alias belanja ugal-ugalan dengan modal tipis hanya akan membuat negara terlilit jerat utang hingga tujuh turunan. Itulah mengapa strategi kebijakan fiskal tidak bisa sembarangan.

Dua pekan terakhir, mendekati Pemilu 2024, para bakal calon presiden-wakil presiden mulai beradu gagasan di atas kertas. Ketiganya berlomba-lomba memasang target pembangunan yang tinggi. Berbagai program dan kebijakan baru pun ditawarkan. Semua terdengar manis di telinga rakyat.

Namun, pertanyaan penting yang menggantung, uangnya dari mana? Apa strategi ketiga kandidat untuk mengerek penerimaan pajak maupun nonpajak demi mendanai berbagai target tersebut?

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di sepanjang jalan layang di kawasan Karet, Jakarta, Selasa (22/8/2023). Meskipun jadwal kampanye masih tiga bulan lagi, atribut kampanye, seperti bendera partai politik dan baliho bakal calon anggota legislatif, sudah bertebaran di sudut-sudut kota.

Para kandidat mengumbar janji-janji kebijakan berbiaya besar dengan konsekuensi target penerimaan pajak yang tidak masuk akal.
Contohnya, program makan gratis bagi pelajar, siswa prasekolah, dan ibu hamil yang dijanjikan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Program itu diperkirakan memakan biaya hingga Rp 400 triliun, hampir menyamai total anggaran perlindungan sosial (perlinsos) di APBN 2024 sebesar Rp 493,5 triliun.

Untuk mendanai satu program itu, dibutuhkan tambahan penerimaan negara seminim-minimnya Rp 450 triliun atau setara dengan 22,26 persen penerimaan perpajakan dalam APBN 2023. ”Itu baru satu program, belum lagi untuk program lain yang dijanjikan, seperti susu gratis, kartu anak sehat. Bayangkan, berapa ratus triliun yang dibutuhkan?” katanya. Jika benar-benar ada niat politik, semestinya para kandidat fokus pada akar masalah yang menghambat penerimaan negara.

Berbagai janji kebijakan yang ambisius itu perlu didukung dengan keuangan negara yang kuat, khususnya lewat pemasukan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara. Sayangnya, visi-misi penerimaan negara dan pajak para bakal capres-cawapres tidak jelas.

Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, tidak mencantumkan strategi kebijakan fiskal yang detail di dokumen visi-misi. Mereka hanya menuliskan janji mewujudkan fiskal yang tangguh lewat anggaran negara yang memadai dan transparan serta optimalisasi sumber pendapatan.
 
Di sisi lain, strategi yang ditawarkan Prabowo-Gibran dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tidak menyentuh akar masalah, bahkan membawa masalah baru. Kedua kandidat itu, misalnya, mengusulkan pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk memperbaiki koordinasi antar-instansi dan menaikkan penerimaan negara. Untuk membentuk badan baru ini, perlu ada pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari tubuh Kementerian Keuangan.

Pembentukan badan baru itu juga dinilai akan mempersulit proses penganggaran setiap tahun karena butuh koordinasi antara Kemenkeu dan BPN. Bahkan, lembaga baru itu berpotensi semakin mempersempit ruang fiskal. Salah satu yang memberatkan keuangan negara adalah bengkaknya pengeluaran rutin, seperti belanja pegawai. Semakin banyak badan yang dibentuk, semakin banyak pula biaya yang keluar untuk itu.

Pekerja melihat kemacetan yang terjadi di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin (19/6/2023). Ekonomi Indonesia triwulan I-2023 tumbuh 5,03 persen dibandingkan dengan triwulan I-2022 secara year on year.
Strategi lain yang ditawarkan para kandidat bahkan dapat menurunkan rasio pajak, alih-alih menaikkannya. Misalnya, ide Prabowo-Gibran menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh 21). PPh 21 memiliki berlapis-lapis besaran tarif pajak, tergantung tingkat pendapatan wajib pajak. Strategi yang ditawarkan itu tidak secara rinci memperjelas lapisan tarif PPh mana yang hendak diturunkan.

Di sisi lain, penerimaan negara tidak melulu hanya dari pajak, tetapi juga dari bea dan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), termasuk sumber pendapatan lain, seperti dari devisa. Sayangnya, ketiga kandidat cenderung mengabaikan pos penerimaan dan pendapatan lain di luar pajak.

Nyaris tidak ada kandidat yang bicara terobosan kebijakan untuk meningkatkan cukai. Beberapa capres sudah bicara mengenai rencana mengamankan devisa hasil ekspor, tetapi strateginya belum dielaborasi. Pesimistis kebijakan dan program yang ditawarkan para bakal capres-cawapres dalam dokumen visi-misi akan benar-benar dieksekusi begitu menjabat. Apalagi, kebijakan perpajakan biasanya menjadi isu tidak populer karena berpotensi memosisikan capres berseberangan dengan publik serta pengusaha dan pemodal yang membiayai kampanyenya.

Jika benar-benar ada niat politik, semestinya para kandidat fokus pada akar masalah yang menghambat penerimaan negara, yaitu basis data perpajakan yang tidak transparan dan terintegrasi. Solusi mengungkit rasio penerimaan pajak, bisa dengan menghubungkan basis data perpajakan dan basis data lain, seperti lewat single identity number (SIN).

Ada banyak opsi kebijakan lain yang semestinya bisa ditawarkan capres untuk mengerek pemasukan pajak, asalkan ada niat politik untuk mengatasi akar masalah. Misalnya, melanjutkan reformasi administrasi dan birokrasi untuk menjadikan Direktorat Jenderal Pajak yang bersih tanpa korupsi.

Minimnya gagasan orisinal yang berani dalam pemilu di Indonesia dibandingkan adu gagasan berbasis ideologi di kampanye pemilu Amerika Serikat. Di AS, kandidat secara lugas dan berani memaparkan kebijakan pajak mereka kepada publik, meski kontroversial.

Demi mengalahkan capres petahana Donald Trump di pilpres 2020, misalnya, capres Joe Biden menaikkan tarif efektif global intangible low-taxed income (GILTI) dari 21 persen menjadi 28 persen. Kebijakan itu dikeluarkan untuk memperketat pengenaan pajak minimum terhadap laba agregat perusahaan multinasional asal AS yang berbisnis di luar AS.

Pengelolaan fiskal yang ”ugal-ugalan” dapat menjatuhkan perekonomian. Apalagi, perekonomian dunia ke depan bakal semakin tidak pasti, menambah tantangan dalam menaikkan penerimaan negara. Kebijakan fiskal yang fleksibel tetapi disiplin, serta berani menukik langsung ke akar masalah, kian dibutuhkan.

Bakal capres mesti belajar dari kesalahan mantan Perdana Menteri Inggris Liz Truss. Truss terpaksa turun dari jabatannya tahun lalu akibat kebijakan fiskal yang sembrono menyebabkan defisit fiskal Inggris meroket dan nyaris membawa negara itu pada resesi.
 

View reactions (729)
Add Comment
2 Comments
  • @russel


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.
  • @carlf


    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Ea, iusto, maxime, ullam autem a voluptate rem quos repudiandae.